Rabu, 12 Desember 2007

GLOBAL WARMING, dalam ocehan anak saya


Sebuah analisa pribadi.
By: Haris

Waktu saya menulis topik ini, hajatan akbar dunia yang bernama UNCCC (United Nation Climate Change Conference) di Bali belumlah berakhir. Serangkaian agenda masih terus berlangsung, mulai dari seminar, diskusi, klausul-klausul sampai dengan "seremoni" tanam pohon dll tampak menghiasi layar kaca kita.

Berbagai dialog dan liputan-pun digelar oleh berbagai stasiun TV. Sampai suatu sore, baru saja aku masuk rumah selepas pulang kerja anak saya sudah memberondong pembicaraan dengan topik Pemanasan Global, terlalu dini sebenarnya untuk anak seumuran dia membicarakan ini. Tapi itulah anak saya, mungkin karena terbiasa mengikuti pola nonton TV saya dan istri yang sering nonton TV hanya pada acara2 yang penting saja, semisal berita, tayangan lain kalo nggak benar2 bermutu / bagus kami malas menonton. Maklum saja, TV kita sudah seperti sampah yang setiap hari berisi hal-hal yang justru merusak karakter kita, mulai dari kekerasan, maksiat, Pornografi, pornoaksi... dll.

Kembali ke anak saya. Sambil melepas sepatu, anakku yang baru berusia 7 tahun itu berkata: "Pak, pak... aku takut sekali lho sama pemanasan global.." Aku tersenyum, lalu balik bertanya: "Emang apaan pemanasan global, tahu dari mana?" dengan tetap mengacuhkannya. "Dari TV, tadi ada di TV pemananasan globa itu bahaya... bisa jadi banyak gunung meletus, gempa bumi, badai, angin puting beliung, banjir.... malah katanya di jakarta deket mas rafi air lautnya sudah meluap".terangnya panjang lebar. "Tapi kita kan nggak kena" kataku. "Lama-lama bisa kena juga Pak... makanya kita nggak usah pake kulkas sama AC aja.., katanya itu juga bikin pemanasan Global... ya pah, copot aja tuh AC-nya.. aku takuuut.." "Tar kepanasan..?" sahutku santai. "Nggak apa-apa, kita pake kipas aja..." Aku menuju kamar sambil tersenyum ke Istriku... Istriku juga mengerti dan geli melihat tingkah anakku.

Sampai malam, rupanya anakku masih kepikiran dengan efek pemanasan global... Aku semakin sadar ketika biasanya menjelang Tidur ia Sholat Isya' sekenanya, kali ini agak lain... Sholatnya agak serius... dan setelah itu berdoa sambil matanya menahan air mata. Aku dekati dia, "Sudahlah Nak, memang pada suatu saat bumi ini akan hancur, entah oleh pemanasan global enath oleh sebab lain, itulah yang dinamakan kiamat, dan kita semua akan mati... yang terpenting adalah setelah mati kita mesti berada dimana? di surga atau neraka...? Kalo pengen di surga kita mesti hidup bener, rajin ibadah... jauhi perbuatan jelek.. ya.., sudah bobo' sana..." Dia menuju kamarnya... setelah lelap, tiba-tiba dia bangun dan menangis... sambil berkata "takuut... takuuut"... Hehehe rupanya pemanasan Global itu terbawa mimpi olehnya.

Pembaca.., petikan di atas benar2 terjadi dalam keluarga saya.
Yang jadi pertanyaan saya adalah apakah kita yang dewasa juga benar-benar takut seperti anak saya menghadapi Global Warming tsb..? Apakah Pemimpin-pemimpin bangsa yang punya kuasa yang sedang berkumpul di Bali itu benar-benar mencurahkan pemikiranya ttg Global Warming itu sampai terbawa mimpi seperti anak saya..?
Saya yakin tidak.

Sebab kalo iya, bukan sekarang mereka baru membicarakanya... melainkan berpuluh-puluh tahun yang lalu mereka sudah berbuat, karena saya yakin mereka ribuan kali lebih pinter dari anak saya. Dan yang paling penting dari petikan cerita anak saya adalah.. maukah mereka memutuskan untuk segera membuang jauh2 apa yang mereka sengangi seperti anak saya yang ingin segera mencopot AC dan membuang kulkas di rumah....
Sekali lagi saya yaki tidak...

Yang ada hanyalah himbauan untuk sekedar berhemat, yang ada hanyalah "pura-pura" menanam, sementara bersamaan dengan itu mereka membiarkan kerusakan bumi menjadi-jadi. Membiarkan "pembangunan" liar tanpa memperhatikan lingkungan lagi. Membiarkan bahkan melindungi perampok hutan dengan topeng sehelai surat ijin HPH...

Aduh kok jadi emosi begini ya pembaca... ya sudah lah, saya yakin pembaca juga tahu arah pembicaraan saya.
Darpada ngelantur mendingan saya sudahi, lain kali disambung. Tks.

Jumat, 07 Desember 2007

QURBAN, Menyembelih Sifat Hewani Kita

QURBAN, Menyembelih Sifat Hewani Kita
Sebuah perspektif pribadi
By; Haris


Beberapa hari lagi kita merayakan Hari Raya Iedul Adha, Jamaah Haji sudah banyak yang berangkat ke tanah suci, tanah impian bagi kita semua. Mungkin tinggal yang Jamaah Haji Plus atau ONH Plus yang belum berangkat. Karena memang Orang-orang plus ini mengambil rukunnya saja dalam menjalankan ibadah haji... jadi praktis mereka berangkat paling terakhir dan pulang paling duluan. Kondisi & fasilitasnya pasti juga lain dengan jamaah Haji biasa, menginap di Hotel Bintang 5 atau 4 minimal, kemana2 diantar dengan mobil Hotel... Pokoknya serba wah dan VVIP.

Sementara bersamaan dengan itu kaum muslimin yang mampu di tanah air sudah mulai keliling2 mencari hewan untuk berqurban nanti di hari Iedul Adha. Jakarta dan sekitarnyapun sedikit berubah wajah, Jadi banyak kebun binatang dadakan disana-sini.. bau Jakarta yang sebelumnya cuma bau selokan dan sampah pun makin menyengat ditambah bau apek dan pesing-nya kotoran sapi dan kambing.

Membicarakan tentang Qurban, mungkin kita sudah sama-sama faham, bahwa Qurban adalah sebagai salah satu ungkapan syukur kita kepada Allah atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya yang teramat banyak. Selain juga sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah. Qurban berasal dari bahasa arab QOROBA = dekat, dan QURBAN sebagai gerund atau kata kerja yang dibendakan jadi berarti Pendekatan, atau upaya pendekatan kepada Allah.

Hari-hari mendekati Idul Adha juga sudah berseliweran mail box sya tentang kisah-kisah yang menyentuh iman kita dimana banyak drama kegigihan seorang hamba dalam melaksanakan cita-cita Qurban. Ada kisah seorang nenek tua yang tidak pernah absen berQurban walau hidup serba kekurangan, sehari dia menabung 3000 perak dari hasil pekerjaan tanganya membuat sapu lidi. Ada yang membongkar 'celengannya'yang sebenarnya buat pendaftaran sekolah anaknya di bulan Juni nanti, dan lain sebagainya.

Memang kalau kita hitung-hitung amatlah wajar apa yang mereka perbuat. Sebab memang Qurban bukanlah ibadah yang terlalu mahal jika dibandingkan dengan biaya kita berbuka puasa di bulan Romadhon, masih agak ringan dibanding biaya mudik lebaran... apalagi dibanding naik haji yang sangat mahal itu. Masalahnya adalah Ibadah ini jarang kita siapkan di jauh-jauh hari, di bulan Muharam misalnya... Qurban baru teringat ketika kita sudah memasuki bulan Dzulhijjah.. dan sangat berat mengumpulkan dalam waktu uang sebanyak itu untuk membeli seekor kambing. Dan yang terjadi hati kita berkata: "InsyaAllah tahun depan saya akan berqurban"...

Menyembelih Sifat Hewani Kita.
Kata Ustadz dimana aku sering bertanya, Dia punya perspektif lain dalam memahami makna qurban. Selain sebagai rasa syukur dan pendekatan kepada Allah, Qurban juga dimaknai sebagai sebuah symbol penyembelihan sifat hewani kita> ...>
Memang sering membingungkan Ustadz ini. Iya, katanya lagi Puasa Romadhon & bersilaturrahmi di Idul Fitri sering tidak cukup membuat kita berubah, kita selalu kembali ke sifat, sikap dan karakter lama kita, yakni kembali seenaknya dalam hidup, tidak mau ambil pusing urusan orang lain walau orang lain menahan lapar dan hampir mati, sikat sana fitnah sini, seruduk sana tabrak sini, mengaum berteriak-teriak lantang membicarakan aib saudaranya... Pendeknya kita tak ubahnya seberti binatang ternak yang hina.

Eit jangan marah teman, itu bukan saja kata Ustadz saya lho, di Qur> '> annya juga ada.. tapi aku nggak hafal ayatnya.

Maka Qurban kembali datang mengingatkan kita kepada siapa saja, bahwa Dimulai Iedul Adha tahun ini, mari kita sembelih sifat-sifat binatang kita, mari kita buang jauh-jauh karakter hewani kita. Dan kembali pada fitrah mulia kita yakni FII AHSANI TAQWIIM... sebaik-baik penciptaan Allah.
"Sesungguhnya manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya bentuk. Kemudian kami merubahnya menjadi derajat yang paling rendah. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh ... maka banginya pahala..." ila akhiri ayat (At-Tiin)

Wallohu a'lam.

Minggu, 02 Desember 2007

NIKMAT membawa SENGSARA

Sehelai Pengalaman Hidup.
By: Haris

Seharusnya SENGSARA membawa NIKMAT seperti karya novel Abdul Muis yang melegenda itu...
atau NIKMAT membawa nikmat.. seperti kemauan setiap manusia... Lahir dari keluarga kaya nan beriman, besar tercukupi harta dan ilmu.. dewasa tinggal meneruskan kekayaan orang tua, dan mati masuk syurga... hehehe... cita2 setiap orang.

Namun kali ini saya sajikan tulisan NIKMAT membawa SENGSARA... atau bisa juga diberi judul BAIK membawa BURUK...
atau PAHLAWAN yang DITAWAN... hehehe.. terlalu bombastis kali ya.

Tapi itulah yang kami rasakan, Niat baik, itikad baik... ternyata tidak selalu berakibat baik... Nikmat yang rencana kami persembahkan kepada orang lain... justru berbalik arah dan berubah menjadi kesengsaraan...
Bagaimana tidak...? Keresahan terjadi karenanya, Beberapa ibu-ibu menangis karenanya, kerekatan silaturrahmi menjadi retak karenanya amarah, kebencian, dendam, gunjing, ketidak percayaan... kebohongan... justru tumbuh subur karena KENIKMATAN / KEBAIKAN yang saya lempar ke tengah-tengah masyarakat yang "plural" pandangannya.

Saya baru menyadari, betapa berbuat baik itu tidak mudah, berbuat baik tidak selamanya mendatangkan kebaikan... selama dasar perbuatan baik dan dimana perbuatan baik itu dilakukan atas aturan dan nilai manusia... Artinya kebaikan standar manusia.. adalah suatu hal yang relatif, atau nisbi... tergantung siapa yang memandang, tergantung isi kepala dan isi dada masing2 orang.

Inilah yang ingin saya gali... lantas bagaimanakah KEBAIAKN MUTLAK itu...? yang tidak ada embel2 keburukannya sama sekali......?
Berbicara tentang KEBENARAN atau HAQ, saya jadi ingat Doa dalam sholat tahajud yang banyak mengandung kata2 HAQ... yang intinya seluruh kebaikan dari Allah adalah HAQ alal HAQ... artinya sebuah kebenaran mutlaq.

Mungkin inilah yang seharusnya menyadarkan saya, bahwa setiap perbuatan baik harus benar-benar difikirkan apakah kira-kira Haq menurut Allah...? kalau itu sudah difikir... tidak berhenti sampai disitu... apakah orang lain juga sudah karena
Allah dalam memandang kebenaran....? sehingga SEBAB dan AKIBAT atau AKSI & REAKSI sebuah perbuatan sama-sama disandarkan pada maunya Allah, kebenaran Allah..

Tapi itu sulit ya...
Betapa tidak, faktanya kita pun masih berbeda dalam memandang Allah... siapa Allah, maunya Allah dan bagaimana cara kita hidup sesuai maunya Allah.
Ya... saya bilang sulit,
tapi bukan tidak mungkin... jika Allah sudah berkehendak, dan kita benar2 mau memperjuangkannya.


Wa4JJI a'lam bisshowwab.